Sesi kedua bertemakan “Pembiayaan Adaptasi Perubahan Iklim: Sumber Dana, Mekanisme, dan Implementasi Efektif”, sebagai lanjutan dari sesi pertama dalam rangkaian diskusi publik bertajuk “Kolaborasi Adaptasi Iklim Melalui Strategi Pendinginan Pasif pada Permukiman Padat Perkotaan” yang digelar pada tanggal 13 Agustus, 2024 di Kineforum Asrul Sani, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sesi kedua diisi oleh sejumlah narasumber, diantaranya Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Innitiative, Elisa Sutanudjaja, Direktur Rujak Center for Urban Studies, dan Ainun Murwani, dari Paguyuban Kalijawi.
Pemaparan materi diawali oleh Tiza Mafira, di mana beliau mengatakan bahwa pendanaan iklim jauh lebih banyak mengalir untuk upaya-upaya mitigasi, sedangkan untuk pendanaan adaptasi jumlah angkanya jauh lebih kecil. Seluruh upaya adaptasi juga mendapatkan aliran dana dari sektor publik seperti APBN, APBD, dan bank-bank pembangunan. Hingga saat ini belum ada aliran dana dari sektor swasta untuk upaya adaptasi. Hal ini dikarenakan pembangunannya berupa proyek-proyek yang besar seperti giant seawall (dinding laut raksasa), waduk, dan berbagai infrastruktur besar lainnya. Disamping itu, kebanyakan sektor adaptasi juga kurang bersifat komersial dan membutuhkan modal dana yang sangat besar. “Tren saat ini semakin berusaha untuk “membungkus” program adaptasi (supaya) menarik untuk pendonor. Kalau kita membranding adaptasi dengan kegiatan menanam tanaman komersial yang punya daya tahan perubahan iklim ini bisa untuk menarik pendanaan karena punya potensi keuntungan” Jelas Tiza.
Lebih lanjut lagi, beliau menjelaskan bahwa setiap lembaga dilengkapi standar pelibatan masyarakat lokal, umumnya dalam bentuk Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMF), namun tidak ada arahan pendanaan yang jelas untuk kelompok marjinal. Di samping itu, lembaga penyedia keuangan yang khusus menyasar tujuan iklim cenderung lebih menekankan pada manfaat sosial yang diberikan. “Bank yang memiliki portofolio lingkungan pasti memiliki portofolio sosial. Adaptasi itu adanya disini karena ia mencakup aspek lingkungan dan sosial. Akan tetapi, bank yang mempunyai portofolio sosial belum tentu punya portofolio lingkungan. Kalau ini (portofolio sosial) bentuknya bansos, atau CSR (Corporate Social Responsibility). Ia tidak punya skema yang sistematis membangun daya tahan jangka panjang untuk komunitas marjinal”. Ujar Tiza lebih lanjut.
Akses pendanaan mitigasi dan adaptasi cenderung sulit diakses, karena dari perspektif lembaga keuangan memiliki sejumlah standar kebijakan yang sulit dipenuhi oleh kaum marjinal. Hal ini mungkin karena kebanyakan komunitas marjinal masih belum terorganisir dengan baik. Hal ini bisa diatasi dengan cara membangun kapasitas kelompok marjinal tersebut, dan membentuk lembaga hukum seperti koperasi, yang memiliki laporan keuangan dan audit sehingga dapat meningkatkan kredibilitas dan reputasi untuk bisa mengakses pendanaan. “Yang diperlukan sebenarnya adalah diskusi bagaimana kita bisa menyediakan akses pendanaan yang sesuai untuk kaum marjinal dengan cara meningkatkan kapasitas, dan di sisi lain juga perlu diimbangi oleh lembaga keuangan supaya mempunyai portofolio yang lebih inklusif.”
Materi selanjutnya diberikan oleh Elisa Sutanudjaja selaku Direktur Rujak Center for Urban Studies. Ia menjelaskan bahwa pesatnya laju urbanisasi dan perkembangan krisis iklim telah menyebabkan fenomena kekeringan di daerah perkotaan (urban dryness island) yang mana kelembaban di daerah perkotaan lebih rendah dibandingkan di pedesaan, dan kecepatan anginnya juga lebih lambat dibandingkan di daerah pinggiran kota dan pedesaan. Lebih lanjut lagi, pembangunan infrastruktur perumahan lebih bersifat reaktif daripada preventif. Hal ini karena keterbatasan sumber daya penghuni, dan minimnya akses pembiayaan dan hibah kepada masyarakat miskin kota, terutama yang tinggal di kawasan informal perkotaan.
Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa perubahan iklim memperparah efek Urban Heat Island (Pulau Panas Perkotaan) yakni area perkotaan yang mengalami kenaikan suhu lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan dan sekitarnya. Efek ini juga diperburuk oleh infrastruktur permukiman yang didominasi oleh bangunan dua lantai yang menyebabkan ruang menjadi lebih sempit dan panas. “Selain kondisi hidup yang memburuk karena kekurangan infrastruktur yang memadai, Urban Heat Island juga memunculkan risiko kesehatan yang serius, diantaranya masalah pernapasan, sengatan panas, dan dehidrasi” Jelas Elisa.
Selain itu, Elisa juga menjelaskan bahwa terdapat kesinambungan antara permasalahan legalitas tanah dengan krisis iklim. “Kalau mau adaptasi iklim namun mereka (masyarakat miskin kota) masih berjuang untuk pertanahannya, ya adaptasi bukan menjadi prioritas utama. Kalau misal ada filantropi ingin memberikan hibah atau bantuan, pertanyaan pertamanya status tanahnya bagaimana? Yang ditanya pertama bukan bahan rumahnya pakai apa tapi status tanahnya.” Ujar Elisa. Dalam hal ini, keamanan bermukim dan “legalisasi” permukiman informal dapat mendorong peningkatan kualitas perumahan, sehingga mengurangi kerentanan masyarakat marjinal.
“Sedikit gambaran yang kami lakukan di Kampung Muara Baru, sekali lagi masalah utamanya adalah kepadatan tinggi. Disini padat banget, ada 9 RT dan ada tanah seluas ini (tanah milik Pelindo) tanah ini sudah nganggur berapa puluh tahun, ngga dibagi ke warganya. Mereka juga ada yang punya masalah sengketa dan tidak adanya pengakuan”. Jelas Elisa
Ada tiga model yang mungkin dapat dilakukan sebagai solusi di antaranya; (1) model penataan setempat, (2) model konsolidasi hunian dan setempat, dan (3) model ekspansi wilayah kampung. Tapi karena dana yang mengalir hanya dari hibah dan tabungan warga, maka baru model pertama yang bisa dilakukan, sementara model kedua dan ketiga hanya bisa terjadi kalau pemerintah pusat dan pemerintah daerah hadir. Ekspansi wilayah juga bisa terjadi jika ada pihak swasta yang membantu pendanaannya.
“Ada juga dana obligasi iklim yang bisa diperoleh dari SMF (Sarana Multigriya Finansial) yang bergerak di bidang pembiayaan sekunder perumahan”. Selain itu juga ada insentif pajak yang mendorong pihak swasta untuk berinvestasi dalam pembangunan kota yang berkelanjutan. Materi selanjutnya dipresentasikan oleh Ainun Murwani, dari Paguyuban Kalijawi Yogyakarta. Beliau menceritakan pengalamannya bersama komunitas dan Arkom dalam melakukan perencanaan kampung di kawasan-kawasan informal di Yogyakarta.
Paguyuban Kalijawi merupakan organisasi yang diinisiasi oleh perempuan-perempuan yang tinggal di kawasan bantaran sungai Gajahwong dan Winongo semenjak tahun 2012. Organisasi ini dibentuk atas dasar kesamaan permasalahan mulai dari status tanah, ekonomi, sanitasi, dan lain sebagainya. Organisasi ini mempunyai anggota sebanyak 300 rumah tangga yang terbagi menjadi 21 kelompok yang beranggotakan 10 hingga 15 rumah tangga. Awal pendanaan kelompok ini berasal dari tabungan sebesar Rp. 2.000 rupiah per hari untuk setiap anggota, dimana uang ini akan dipergunakan untuk merenovasi rumah secara bergiliran. Terdapat 165 rumah yang berhasil direnovasi dengan dana tabungan ini.
“Dana bergulir ini selama 20 bulan terkumpul sebanyak 126 juta rupiah. Kami bingung mau digunakan untuk apa. Namun, hasil pemetaan yang kita lakukan di setiap pertemuan ternyata ditemukan permasalahan lain dari aspek pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya, akhirnya dana ini dikumpulkan dalam bentuk DPK (Dana Pembangunan Komunitas) dan ya sudah kita bikinkan yang menarik (Koperasi) Simpan Pinjam” Ainun selanjutnya bercerita bahwa selain rumah yang dibangun, mereka juga membangun 4 balai bambu warga. Inisiatif ini muncul karena permasalahan lain yang dihadapi komunitas adalah tidak adanya ruang publik. Keempat balai bambu ini dibangun di atas drainase karena tidak ada ruang yang cukup di perkampungan yang padat.
Secara keseluruhan, diskusi sesi kedua ini menekankan pembiayaan adaptasi perubahan iklim yang memerlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, melibatkan bukan hanya pemerintah namun juga perlu ada dukungan dari swasta, terutama partisipasi komunitas terkait. Hanya melalui kolaborasi dan pengelolaan dana yang tepat, kita dapat memastikan bahwa masyarakat yang paling rentan dapat beradaptasi dengan dampak perubahan iklim secara optimal dan berkelanjutan.
Penulis: Ganggas Prakosa Sigit Wibowo