Sesi ketiga bertemakan “Pengembangan Kebijakan dan Teknologi Adaptasi Perubahan Iklim Serta Pendinginan Pasif untuk Rumah Swadaya”, sebagai lanjutan dari sesi kedua dalam rangkaian diskusi publik bertajuk “Kolaborasi Adaptasi Iklim Melalui Strategi Pendinginan Pasif pada Permukiman Padat Perkotaan” yang digelar pada tanggal 13 Agustus, 2024 di Kineforum Asrul Sani, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sesi ketiga diisi oleh beberapa narasumber, diantaranya Muhammad Salahudin Rasyidi, selaku direktur Perumahan Swadaya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dr. Eng Beta Paramita dari lembaga Be Cool, dan Eny Rochayati dari Koperasi Kampung Marlina.
Sesi ketiga diskusi diawali oleh M. Salahudin Rasyidi, yang mana beliau menjelaskan bahwa hingga tahun 2023 masih ada 9,9 juta masyarakat Indonesia yang belum memiliki rumah. Sementara itu, terdapat 26,9 juta masyarakat memiliki rumah namun belum layak huni. Angka ini terus naik seiring berjalannya waktu, di mana ada sekitar 700 ribu keluarga baru per tahunnya. Masyarakat mendapatkan rumah dengan tiga cara, yakni dengan membeli dari developer (4,6%), membeli dari orang lain (4,12%), mendapatkan hibah (8,5%), dan membangun sendiri (82%). Dari angka 82%, sebagian besarnya adalah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Hal ini juga menjadi perhatian pemerintah jika rumah yang dibangun secara swadaya ternyata tidak layak huni.
“Susah-susah nabung, takutnya kalau tidak didampingi (oleh penggerak, penggiat, dan pemerintah) takutnya rumah yang dia bangun belum memenuhi kriteria rumah layak huni yang punya akses ke berbagai fasilitas publik” jelas Salahudin. Kementerian PUPR sendiri telah memiliki komitmen tersendiri untuk menjawab tantangan perubahan iklim, diantaranya mengembangkan Gedung Bangunan Hijau (GBH) dan Hunian Hijau Masyarakat (H2M).
Selain itu juga ada program RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat) yang merupakan inisiasi Badan Penelitian dan Pengembangan dan diadopsi oleh Dirjen Penyediaan Perumahan dalam pembangunan rumah khusus tahan gempa. Selanjutnya, materi dipresentasikan oleh Dr. Eng Beta Paramita, S.T., M.T selaku dosen Arsitektur Universitas Pendidikan Indonesia. Beliau menjelaskan mengenai salah satu solusi atas permasalahan Urban Heat Island menggunakan cat atap reflektif, bermerk BeCool.
Produk ini tidak hanya menawarkan kemampuan reflektif tinggi, tetapi juga memberikan manfaat signifikan bagi kenyamanan termal, kesehatan, dan lingkungan sosial. BeCool adalah cat atap yang telah mendapatkan sertifikasi dari CRRC (Cool Roof Rating Council). Cat ini mampu merefleksikan hingga 84% radiasi matahari, sementara hanya 16% panas yang masuk ke dalam bangunan. Dengan kemampuan ini, BeCool membantu mengurangi suhu permukaan atap dan, secara tidak langsung, suhu dalam ruangan.
Namun, tidak hanya refleksi yang penting dalam mengatasi UHI. BeCool juga memiliki nilai Thermal Emittance sebesar 0,90, yang berarti cat ini efektif dalam memancarkan kembali panas yang diserap ke lingkungan sekitar. Hal ini menjadi kunci dalam menurunkan suhu di area perkotaan yang padat. Dampak penggunaan BeCool telah terbukti melalui berbagai proyek, termasuk Kampung BeCool, di mana 18 rumah telah menggunakan cat ini. Hasilnya, suhu di kawasan tersebut turun hingga 6 derajat Celsius, memberikan efek pendinginan yang signifikan dan meningkatkan kenyamanan warga.
Salah satu studi kasus yang menonjol adalah proyek Cool House oleh PT Delfi. Dalam proyek ini, BeCool digunakan untuk mengecat kontainer pengiriman cokelat. Penggunaan cat ini mampu menurunkan suhu dalam kontainer hingga 18 derajat Celsius, sehingga mengurangi risiko kerusakan produk akibat panas berlebih selama proses pengiriman. Percobaan lainnya dilakukan di Padalarang, di mana sebuah rumah dengan struktur ringan dan dilapisi cat BeCool didesain sebagai rumah sehat. Rumah ini menunjukkan hasil yang sangat positif dengan suhu luar mencapai 37 derajat Celsius, namun suhu dalam ruangan tetap nyaman di kisaran 28 derajat Celcius. Selain memberikan kenyamanan termal, desain rumah ini juga berkontribusi terhadap kesehatan penghuninya, khususnya dalam mencegah penyakit seperti TBC, mengingat Indonesia adalah negara dengan angka TBC tertinggi kedua di dunia.
Penggunaan BeCool tidak hanya memberikan manfaat individu, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas. Proyek seperti Kampung BeCool membuktikan bahwa inovasi ini dapat menggerakkan komunitas untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan nyaman. Dengan lebih banyak rumah dan bangunan yang menggunakan cat ini, diharapkan suhu di perkotaan dapat terus ditekan, mengurangi efek Urban Heat Island, serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan manfaat yang ditawarkan, BeCool bukan hanya solusi bagi masalah panas, tetapi juga langkah maju dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih berkelanjutan dan sehat.
Pemateri selanjutnya adalah Bu Eny selaku pengurus Koperasi Marlina dari Kampung Marlina, yang berlokasi di Jalan Muara Baru, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Kampung Marlina juga dikenal terletak di Gang Sopan, karena kondisi rumah-rumahnya yang berada 70 cm lebih rendah dari jalan utama. Kondisi ini telah menjadi tantangan bagi warga selama bertahun-tahun, dengan lingkungan yang kurang sehat dan minimnya akses cahaya matahari. Namun, melalui inisiatif Koperasi JRMK, di mana Marlina aktif, perubahan besar mulai terlihat.
Ketika Urban Poor Consortium (UPC) menawarkan bantuan, Bu Eny dari Koperasi JRMK melihat peluang untuk memperbaiki kondisi rumah-rumah di Kampung Marlina. Meskipun awalnya warga merasa nyaman dengan keadaan yang ada dan ragu untuk berubah, koperasi bekerja keras membuka pola pikir mereka. Mereka menunjukkan bahwa lingkungan yang gelap, pengap, dan tidak sehat perlu diubah demi kesejahteraan bersama.
Setelah dua tahun berdiskusi dan merencanakan, akhirnya 10 rumah pertama di Kampung Marlina setuju untuk direnovasi. Proyek ini didukung oleh dana hibah yang diubah menjadi pinjaman tanpa bunga, dan desain rumah-rumah baru dikembangkan bersama Rujak Center for Urban Studies. Desain ini melibatkan pengorbanan beberapa meter tanah untuk pelebaran jalan serta penambahan ventilasi dengan pembuatan void, yang memungkinkan pertukaran udara lebih baik. Awalnya, rumah-rumah ini hanya memiliki dua lantai, tetapi dengan desain baru, menjadi tiga lantai tanpa kehilangan ruang.
Perubahan ini tidak hanya memperkuat konstruksi rumah, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warga. Sebelumnya, warga harus mengeluarkan biaya listrik sekitar Rp 300.000 per bulan karena lampu dan kipas angin harus menyala sepanjang hari. Namun, setelah renovasi, mereka dapat mematikan lampu dan kipas angin saat siang hari, mengurangi biaya listrik hingga Rp 200.000 per bulan. Masalah kualitas air juga teratasi. Sebelumnya, air sering keruh dan berbau saat pasang laut, tetapi sekarang aliran air menjadi lebih lancar dan bersih. Selain itu, penghijauan di kampung mulai terjadi karena adanya ruang yang disediakan di depan rumah, memungkinkan warga untuk menanam tanaman dan memperbaiki kualitas lingkungan.
Proyek ini juga membawa dampak positif pada ekonomi warga. Lantai bawah rumah tetap dapat digunakan sebagai warung, sementara lantai atas dapat disewakan sebagai kontrakan, memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga. Transformasi yang terjadi di Kampung Marlina adalah contoh nyata bagaimana kolaborasi dan inovasi melalui koperasi dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan semangat kebersamaan, warga Kampung Marlina kini menikmati lingkungan yang lebih sehat, nyaman, dan sejahtera.
Penulis: Ganggas Prakosa Sigit Wibowo