Summary:
Diprediksi antara tahun 2015 hingga 2045, kebutuhan akan suplai air di Indonesia akan meningkat sebesar 31%. Di sisi lain, tingkat pencemaran air di Indonesia juga meningkat. Lebih dari setengah total jumlah sungai di Indonesia mengalami pencemaran. Lebih dari 90 persen sample air bawah tanah sudah melebihi ambang batas polutan. Di Provinsi Yogyakarta, sebuah survey di tahun 2017 menunjukkan bahwa sebagian besar sumber air dan air minum rumah tangga terkontaminasi bakteri fekal. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah memiliki target untuk memperluas jaringan pemipaan air hingga 60% di tahun 2045. Namun, hingga tahun ini yang terealisasikan baru mencapai 23%. Ketika berbicara mengenai sanitasi air, maka tidak cukup dengan memperluas jaringan pemipaan dan mengirim bantuan air bersih ke daerah-daerah pelosok. Komunitas setempat perlu memahami dan mempelajari tantangan-tantangan mereka dalam mengelola air, membuat rencana strategis dan membuat program untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Pendekatan berbasis komunitas dalam upaya pengelolaan air mungkin bisa menjadi solusi yang tepat. Sebuah komunitas Banyu Bening di Provinsi Yogyakarta menunjukkan bahwa kolaborasi sosial dan keterlibatan proaktif dapat mengantarkan kepada program pengelolaan air yang sukses.
Kondisi Air Bersih di Indonesia dan Dampaknya terhadap Komunitas
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki persediaan air melimpah. Indonesia tercatat memiliki jumlah pulau sebanyak 17,499, dan garis pantai sepanjang 81.000 km, serta jalan air dalam kepulauan seluas 2.7 juta km, atau 70% total luas teritorial Indonesia. Indonesia juga memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang mencakup luas 3,1 km2 dan menjadikan total luas laut di Indonesia menjadi 5,8 juta km2. Wilayah teritori maritim yang sangat luas ini menjadi sumber utama air yang mengalir ke sungai-sungai dan menjadi sumber air yang dimanfaatkan masyarakat untuk keperluan sehari-hari. Disamping itu, sebanyak 46% penduduk Indonesia memanfaatkan sumber air bawah tanah, sedangkan sisanya menggunakan PDAM, mata air, air sungai, dan yang lainnya.
Kebutuhan akan suplai air terus meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan demografi. Konsumen utama adalah industri, pelaku usaha, dan pemukiman yang menggali sendiri lubang sumur mereka. Diprediksi antara tahun 2015 hingga 2045, kebutuhan akan suplai air akan meningkat 31%. Namun, disisi lain kualitas air di Indonesia juga menurun. Lebih dari separuh sungai di Indonesia mengalami pencemaran berat, dan dua diantaranya merupakan sungai paling tercemar di dunia. Hanya 5% air sungai yang memenuhi standar kualitas layak konsumsi. Sebesar 85% sampel air terindikasi tercemar polusi koliform fekal yang menyebabkan penyakit tipes, diare, hingga stunting. Selain itu, kualitas air bawah tanah juga menurun, dengan sekitar 93% sampel air bawah tanah telah melampaui ambang batas polutan. Sejauh mana dampak dari polusi air hingga sekarang masih belum diketahui, karena tiga per empat populasi tinggal di wilayah yang sumber airnya tidak terawasi.
Kualitas sumber air yang tercemar berdampak besar pada kehidupan masyarakat umum. Sebanyak 27% rumah tangga di Indonesia menggunakan air sumur (Resmana, 2022). Disamping itu, sebanyak 28% rumah tangga menggunakan air permukaan seperti sungai, danau, dan mata air untuk kebutuhan minum dan sehari-hari yang rentan terkontaminasi bakteri fekal (BAPPENAS, 2021). Hingga sekarang hanya 23% penduduk yang memiliki akses air PDAM (BAPPENAS, 2021). Hampir seluruh air yang dikonsumsi direbus terlebih dahulu, namun seringkali prosesnya tidak matang sempurna. Terlebih lagi dengan pembangunan ekonomi yang kian pesat, polutan yang timbul dari kegiatan industri seperti bahan-bahan kimia dan logam berat juga meningkat. Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah penduduk yang mempraktikan buang air sembarangan terbesar kedua di dunia. Hal ini semakin memperburuk kualitas air dan menjadi permasalahan kesehatan publik yang besar. Satu per empat dari seluruh anak-anak di Indonesia yang berumur dibawah 5 tahun menderita penyakit diare yang menjadi penyebab utama kematian anak (UNICEF, 2019). Ditambah dengan polusi yang timbul dari sektor pertanian, hal ini sangat berdampak pada kesehatan manusia. Sekitar 35% kasus stunting terjadi karena adanya polusi air (BAPPENAS, 2021).
Tingginya angka pencemaran air memiliki dampak yang besar, terutama terhadap golongan masyarakat menengah ke bawah yang tidak memiliki akses ke jaringan pemipaan, disamping kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan air dan sanitasi. Maka dari itu, penting untuk mengimplementasikan manajemen pengelolaan air untuk mengurangi pencemaran di sumber-sumber air.
Salah satu bentuk manajemen ini adalah Pengelolaan Sumber Daya Air Berbasis Komunitas (Community Based Water Resource Management). Pengelolaan Sumber Daya Air Berbasis Komunitas merupakan sebuah strategi untuk menjamin supai air milik komunitas tetap berkelanjutan dengan mengedepankan asesmen dan pengawasan yang dilakukan oleh komunitas itu sendiri terhadap sumber-sumber air. Pendekatan ini sejalan dengan Pengurangan Resiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim. Dalam hal ini, komunitas dapat membuat inisiatif untuk menghadapi perubahan iklim seperti memanen air hujan, pengisian ulang air tanah, dan pertanian yang hemat air. Konsep manajemen ini menekankan inisiatif komunitas untuk mengidentifikasi masalah, mengelola, dan memantau kinerjanya sehingga menumbuhkan rasa kepemilikan bersama. Secara singkat, manajemen air berbasis komunitas memainkan peran penting dalam resiliensi perubahan iklim dengan mengkampanyekan kebersiapan, pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan, strategi yang adaptif, dan keterlibatan komunitas lokal.
Pengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia
Salah satu penyebab krisis air adalah implementasi manajemen air yang belum optimal. Manajemen dalam arti luas dapat berupa berbagai kegiatan seperti inventarisasi, regulasi penggunaan, perizinan, pengendalian, dan pengawasan dalam konteks konservasi air. Agar krisis air dapat teratasi maka dibutuhkan manajemen sumber daya air yang terintegrasi. Hal ini melibatkan prioritas penggunaan air, merencanakan alokasi air yang sesuai, mendorong praktik konservasi yang berkelanjutan, dan meminimalkan risiko kontaminasi. Di Indonesia, banyak pemerintah daerah menghadapi masalah mendesak berkurangnya ketersediaan air bersih dan kualitas air. Salah satu faktor utama yang menyebabkan masalah ini adalah perubahan cepat dalam pola penggunaan lahan, yang mengakibatkan infiltrasi yang lebih rendah dan aliran air yang lebih tinggi.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup, sumber air di Indonesia mengalami penyusutan semenjak tahun 2015 hingga 2021. Sementara itu, pemerintah memiliki peran penting dalam menjaga ketersediaan air dan kualitas air di Indonesia. Pemerintah diharapkan memiliki strategi untuk memastikan adanya ketersediaan air yang cukup untuk masa sekarang dan masa mendatang. Dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup telah menerapkan manajemen air dari aspek kuantitatif dan kualitatif dengan cara mempertimbangkan dan menentukan prioritas program dan aktivitas yang berkaitan dengan penggunaan air.
Pemerintah telah melakukan monitoring atau pengawasan air sungai secara berkala di banyak lokasi. Upaya selanjutnya adalah mengimplementasikan konservasi sumber-sumber air. Banyak upaya konservasi sekarang dilakukan oleh sektor privat, dengan harapan dapat menunjang akses air untuk komunitas lokal. Akan tetapi, meskipun telah melibatkan sektor privat, beberapa daerah masih mengalami kendala dalam mengakses air. Hal tersebut menunjukkan perlunya keterlibatan komunitas lokal dalam upaya manajemen air.
Studi Kasus
Berdasarkan studi pustaka, salah satu daerah yang menerapkan manajemen air berbasis komunitas berlokasi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hingga sekarang, Yogyakarta tidak lepas dari permasalahan krisis air baik berupa kekeringan maupun pencemaran pada sumber air. Menurut data Kajian Risiko Bencana 2022-2026, sebanyak 3.675.662 jiwa masyarakat di Yogya dari Kabupaten Bantul, Gunungkidul, Sleman, Kulon Progo dan Kota Yogyakarta berpotensi mengalami kekeringan. Di sisi lain Survey Kualitas Air dari Badan Pusat Statistik tahun 2015 menunjukkan sebesar 67,1 % rumah tangga memiliki air siap minum terkontaminasi bakteri e-coli. Merespon hal ini, sebuah komunitas di Kabupaten Sleman bernama Komunitas Banyu Bening memiliki inisiatif untuk mengajak masyarakat umum memanfaatkan air hujan dan menanam tumbuhan untuk konservasi air hujan. Semenjak tahun 2012, komunitas ini telah melakukan berbagai uji coba mengolah air hujan menjadi air yang bisa dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat. Terdapat dua cara untuk memanen air hujan. Pertama, menggunakan gama rain filter berupa tabung berukuran 1.000 liter yang didalamnya terdapat penyangga dan alat inflitrasi. Tabung tersebut dipasang di atap rumah, dan jika air hujan mengalir maka langsung bisa digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Cara kedua, menggunakan ember atau panci dengan cara mendiamkan air hujan yang tertampung selama 20 menit untuk mengendapkan polutannya.
Semenjak tahun 2019, komunitas Banyu Bening juga membuka sekolah informal bernama Sekolah Air Hujan yang memiliki agenda utama untuk mengedukasi masyarakat mengenai krisis air dan cara mengelola air di tengah krisis, seperti memanen air hujan. Sekolah ini terbuka untuk umum dan berlangsung setiap hari sabtu dan minggu. Dalam mengkampanyekan panen air hujan, sekolah ini juga menggunakan pendekatan budaya berupa “Kenduri Banyu Udan” yang juga mempertontonkan kirab serta tari-tarian warga sebagai sarana sosialisasi mengenai pentingnya air hujan.
Pelajaran yang Dipetik
Studi kasus diatas merupakan contoh bahwa untuk mengatasi masalah krisis air dan kekeringan dapat tercapai melalui peran serta komunitas lokal, NGO, atau organisasi lainnya. Pendekatan top-down sering kali kurang optimal dalam membangun resiliensi komunitas lokal. Hal ini karena sebagian besar pendekatan ini berfokus pada pembangunan infrastruktur dan pengiriman bantuan air bersih (drop tank) ke daerah-daerah yang mengalami kekeringan. Seringkali bantuan yang dikirimkan kurang dapat mencukupi kebutuhan komunitas terdampak sehingga mereka tidak dapat memanfaatkannya secara penuh. Pendampingan komunitas dapat membantu untuk membangun relasi dengan komunitas dan menjadi sarana untuk mengikutsertakan mereka dalam proses asesmen risiko dan kebutuhan. Hasil asesmen dapat membantu pemerintah maupun NGO dalam membuat program yang berkelanjutan atau membantu komunitas yang terdampak.
Manajemen air berbasis komunitas seperti yang telah didiskusikan, bukan hanya dapat membuat program yang berkelanjutan dan dikelola secara mandiri oleh komunitas tapi juga dapat menyebarkan kesadaran publik akan krisis air dan cara mengatasinya dalam bentuk Sekolah Air Hujan dan Kenduri Banyu Udan. Hal ini dapat menjadi contoh bahwa forum warga yang sederhana dapat memberikan kontribusi yang besar. Mereka juga memiliki jaringan dan modal sosial yang kuat dan dapat dimanfaatkan untuk membuat program mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim, terutama di daerah-daerah yang rawan.
Terakhir, kolaborasi antara NGO dan pemerintah penting dilakukan untuk memfasilitasi komunitas dalam hal pelatihan dan edukasi mengenai manajemen air berbasis komunitas. Dalam hal ini setiap daerah mungkin akan sangat berbeda karena memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri dan akan membutuhkan waktu yang lama agar program yang dibuat dapat berjalan efektif.