Arkomindonesia

Bagaimana Pelayanan Publik kita Setelah Privatisasi?: Diskusi Meja Bundar World Water Day

Panitia Indonesia untuk The People’s Water Forum 2024 menyelenggarakan rangkaian acara diskusi untuk memperingati World Water Day yang jatuh setiap tanggal 22 Maret. Mengambil tema besar “Merajut Kembali Semesta Air dalam Ruang Hidup”, agenda ini merupakan bagian dari rangkaian besar kegiatan The People’s Water Forum 2024 atau Forum Air Rakyat 2024 yang akan diselenggarakan di Bali pada 21-23 Mei 2024.

Rangkaian acara diskusi tersebut terdiri dari tiga webinar yang berlangsung pada 21-22 Maret dengan format diskusi kelompok dan diskusi panel. Masing-masing forum memiliki fokus topik masing-masing, mulai dari isu penyediaan air bersih dan layanan publik, hingga kesenjangan akses air antara desa dengan kota dengan fokus pada aliran air dan gerakan sosial yang ada. Kegiatan ini diikuti oleh sejumlah akademisi-aktivis Indonesia yang memiliki ketertarikan pada isu yang sama, terutama atas isu-isu terkait air dan pembangunan. 

Webinar pertama yang diadakan pada 21 Maret mengambil tema “Penyediaan Pelayanan Publik Setelah Privatisasi?” Diskusi tersebut menghadirkan aktivis dan akademisi seperti Dodok Jogja (Punk Bantul), Wijanto Hadipuro (Unika Soegijapranata), Wahyu Astuti (mahasiswa PhD University of Sydney) dan Komang Audina Permata Putri (Institute for Global Justice (IGJ), dengan moderator Dias Prasongko (PolGov, Universitas Gadjah Mada). Pada diskusi ini, peserta banyak mengelaborasi permasalahan privatisasi, mekanisme kerjasama, dan absennya keseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan akan akses air. 

Wijanto Hadipuro membuka diskusi dengan mengeksplorasi konsep neoliberalisasi alam di balik UU Cipta Kerja dengan absennya keterlibatan pemerintah sehingga memaksa masyarakat untuk mengurus kebutuhan publik mereka sendiri. Mengambil kasus PAMSIMAS dan SPAMDES, Wijanto melihat adanya kecenderungan pemerintah melepaskan tanggung jawabnya setelah membantu warga menyediakan air bersihnya. Sedangkan, membantu dan bertanggung jawab adalah hal yang berbeda. Maka dari itu, jika ada masalah, pemerintah mengklaim sebagai regulator bukan provider, dan kesalahan ada pada provider yakni warga yang mengelola layanan publiknya sendiri. Akibatnya, kesenjangan peran negara sebagai regulator dan provider akan semakin membesar seiring berjalannya waktu.

Lebih lanjut, Wijanto juga menyoroti berkembangnya teknologi baru, yaitu Smart Water Technology. Kemunculan teknologi ini perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan efek ketimpangan dimana masyarakat yang tidak mampu mengakses teknologi tersebut sulit mendapatkan akses air bersih. Akhirnya, masyarakat akan mengonsumsi air yang kualitasnya buruk.

Di sisi lain, Wahyu Astuti mengupas tentang pembangunan infrastruktur air melalui mekanisme Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Ia menyoroti bagaimana negara mengorganisasi proyek-proyek KPBU yang sangat sulit untuk mendapatkan investasi. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh model kapitalisme negara pada rezim Jokowi yang banyak menggerakkan BUMN sehingga proyek-proyek KPBU sejak awal sudah dihitung-hitung visibilitas tanpa harus mendapat dukungan dari pemerintah kecuali dalam bentuk pinjaman.

Menurut Wahyu, model investasi KPBU yang berjalan selama ini mengekspektasikan bahwa ada kota-kota besar yang dapat menciptakan permintaan yang tinggi. Sedangkan, kota-kota menengah atau kota-kota kecil seperti Bandar Lampung sulit mendapat jangkauan proyek SPAM seperti di Semarang atau Jakarta yang permintaan kebutuhan airnya tinggi. Akhirnya, ketimpangan pengelolaan air sangat ditentukan dengan model risiko dan hubungan permintan-penawaran air untuk kebutuhan air yang akan dikelola sektor privat. Dalam situasi inilah pemerintah sangat diharapkan hadir dan mendukung proyek SPAM yang tidak jadi di tangani oleh sektor privat.

Sejalan dengan Wahyu, Audi Komang juga mengupas tentang upaya pemerintah dalam merestrukturisasi modal swasta untuk dapat masuk melalui mekanisme KPBU. Namun, perlu menjadi catatan, apakah KPBU dianggap sebagai privatisasi atau tidak, atau justru dianggap sebagai privatisasi sementara hal ini perlu untuk di monitoring lebih lanjut. Artinya, privatisasi mungkin bisa dilihat berbeda dari aspek atau narasi apa yang ingin dibawa.

Menariknya, dalam diskusi ini juga mengambil perspektif dari warga, yaitu Dodok Jogja yang mengupas beberapa pengalaman dalam menghadapi masalah tata kelola air dari risiko pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Dodok menyorot pencurian air yang terjadi pada kampungnya, Miliran, pada 2014 silam.

Banyak sekali peluang untuk merugikan warga menurut saya. Misalnya Dinas Lingkungan Hidup itu bilang, gak apa-apa kalau hotel ngambil air lebih dari 40 meter, artinya itu ngambil sumber dalam, sumber dangkal itu di atas 40 meter, karena ada lempeng. Terus dibantah penyebab kekeringannya adalah kemarau berkepanjangan.” – Dodok Jogja.

“Jadi kalau berbicara keberpihakan, (pemerintah) belum pernah ngerasain dalam konteks kasus air itu ya. Yang ada hanyalah sanksi yang sangat ringan sekali. Air itu punya siapa? Ya punya warga, kalau dikasih swasta ya jelas maling. Apalagi ini nggak pakai izin, maling double ini” – Dodok Jogja. 

Terakhir, Dias Prasongko menyimpulkan dan menyorot beberapa poin hasil diskusi. Pertama, penting untuk membangun konsensus kolektif bahwa air harus diinterpretasikan sebagai barang public dan bukan barang pribadi. Kedua, Indonesia yang saat ini menghadapi banyak investasi berkelanjutan di sektor air membuka peluang bagi model pengelolaan air berbasis pasar termasuk privatisasi, komersialisasi, dan komodifikasi, atau yang dapat disebut sebagai neoliberalisasi. Ketiga, masih diperlukannya diskusi lebih lanjut terkait isu intervensi swasta dalam tata Kelola air baik dari topik tenaga kerja di sektor air, teknologi pengairan, dan upaya mendorong pengetahuan teknis di sektor air untuk memenuhi tujuan warga, bukan modal.

Secara garis besar, tema yang diangkat berupaya untuk memahami kembali arti penyediaan air bersih sebagai sebuah pelayanan publik. Dengan berpatokan pada definisi bahwa air adalah barang publik, diskusi ini membahas state-of-the-art dalam studi-studi terkait air, fenomena terbaru, praktik tata kelola air berbasis pasar yang masih terus eksis langkah untuk mewujudkan gerakan masyarakat sipil dan inovasi sosial untuk mewujudkan hak atas air dan keadilan sosial. 

Penulis: Silvestra Wima, Nicolas Kriswinara
Editor: Ganggas Prakosa S.W

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *