Arkomindonesia

Menuju Pengelolaan Air Publik: Membahas Keadilan dalam Pelayanan Air pada Peringatan World Water Day

Tak kalah menarik dari forum diskusi yang pertama, forum yang kedua mengambil tema diskusi “Makna dan Landasan Ranah Publik untuk Penyediaan Pelayanan Air yang Berkeadilan.” Pada diskusi ini, Panitia Indonesia untuk The People’s Water Forum 2024 menghadirkan sejumlah ahli seperti David McDonald (Queen’s University) dan Farabi Fakih (Universitas Gadjah Mada). Dalam diskusi kali ini, hadir pula penanggap yaitu Meera Karunananthan (Universitas Carleton atau Blue Planet Project) dan fasilitator Amalinda Savirani (Kepala Research Centre for Politics and Government, Universitas Gadjah Mada).

Sebagai pembuka diskusi, David McDonald menyoroti bagaimana gagasan tradisional sektor publik ditantang oleh globalisasi, privatisasi, dan kemajuan teknologi. Air, sebagai sumber daya vital bagi kehidupan, harus dianggap sebagai barang publik dan bukan sebagai komoditas yang tunduk pada privatisasi maupun motif yang berorientasi pada keuntungan. Ia menyoroti bagaimana di era post-kolonial, masih banyak operator pelayanan air publik memiliki bias terhadap kelas menengah, adanya korupsi dalam tata kelola, kurangnya investasi, dan pengambilan keputusan yang tidak jelas terhadap pelayanan publik atas air.

David juga mengkritik tren privatisasi air, dimana layanan air diserahkan kepada perusahaan swasta untuk mendapatkan keuntungan. Karenanya hal ini sering menyebabkan kesenjangan akses dan mengorbankan kualitas serta keterjangkauan air bagi masyarakat yang terpinggirkan. Menjawab tantangan akses dan pelayanan publik terhadap air, David memaparkan perkembangan tren terhadap remunisipalisasi di berbagai negara. Remunisipalisasi sendiri didefinisikan sebagia upaya mengembalikan penyediaan air dari sektor privat kepada sektor pemerintah. 

Tren remunisipalisasi yang disebutkan David hadir sebab privatisasi air telah gagal dalam memenuhi kebutuhan publik. Namun demikian, menurutnya tidak semua remunisipalisasi dapat diakatakan baik. Studi kasus seperti di Amerika menunjukkan bahwa program remunisipalisasi diadakan hanya untuk memotong anggaran pemerintah sehingga mengabaikan faktor keberlanjutan, kesetaraan, dan solidaritas publik yang membutuhkan pelayanan terhadap air publik tersebut. Berbeda dengan kasus di Amerika, gerakan sosial-demokratik terhadap remunisipalisasi di Perancis menunjukkan penanganan yang berbeda. Kebutuhan akan remunisipalisasi hadir melalui gerakan anti-kapitalis dan gerakan otonom masyarakat. Dengan menunjukkan kedua contoh ini, David berupaya untuk menggambarkan mengapa kita perlunya membicarakan apa yang dimaksud air publik dan bagaimana perubahan dari sektor privat ke publik dapat mempengaruhi manifestasi terhadap air publik.

Sementara itu, menggunakan perspektif historis, Farabi Fakih menyorot tentang konsep barang publik, pemerintahan lokal, dan warisan lokal dari munculnya tata kelola lokal pemerintahan Indonesia di era kolonial. Menurut Farabi, air sebagai barang publik dinegosiasikan dan disediakan di tingkat kota sejak pra-kemerdekaan. Melalui undang-undang desentralisasi pada tahun 1903, administrasi pemerintahan lokal berbentuk munisipalitas independen atau otonom diwujudkan menjadi kota-kota yang kita kenal sekarang seperti Jakarta dan Bandung. Undang-undang yang demokratis ini menjadi dasar terciptanya dewan lokal yang mencerminkan komposisi rasial masyarakat kolonial. Dari bentuk pemerintahan inilah kemudian pemerintahan lokal menghasilkan pengambilalihan bertahap dari pemerintahan pusat seperti penyediaan barang publik dan pekerjaan umum.

Namun, pada saat yang sama, Farabi juga menyorot bahwa pembangunan berorientasi ekonomi kota disebabkan oleh dewan-dewan bisnis yang mempengaruhi administrasi pemerintah. Pasalnya, dewan-dewan bisnis yang sudah hadir sebelum pemerintahan munisipal telah bertindak sebagai proto-administrasi di tingkat lokal. Dengan fokus di bidang properti, hotel, restoran, toko, dan sebagainya, dewan-dewan bisnis ini membangun properti real estate perkotaan di kota-kota yang memiliki wilayah yang luas. Beberapa diantaranya yakni Batavia, Surabaya, Bandung, dan Semarang. Akhirnya, kapitalisasi dan privatisasi terhadap barang publik di kota-kota besar terjadi untuk kepentingan perusahaan besar atau individu. Hal ini mengakibatkan runtuhnya otoritas munisipal yang masih berlanjut hingga saat ini. 

Menanggapi pemaparan David dan Farabi, Meera Karunananthan turut menggarisbawahi pentingnya perjuangan melawan privatisasi terhadap air. Menurutnya, telah terjadi kemenangan besar di seluruh dunia dalam remunisipalisasi dimana komunitas melawan untuk merebut kembali apa yang menjadi haknya, seperti yang terjadi di Jakarta dan Cochabamba, dimana air kembali ke tangan publik. Berdasarkan fenomena tersebut, Meera menyorot bahwa komunitas lokal memiliki dampak dalam menawarkan solusi atas layanan air dan sanitasi, seperti yang terjadi di komunitas-komunitas di Amerika Latin. Keberhasilan komunitas yang menggantikan peran pemerintah ini menurutnya perlu menjadi refleksi bahwa remunisipalisasi bukan hanya tentang merebut kembali sistem ke tangan publik, melainkan juga membicarakan apa artinya mendekolonisasi sistem untuk menghadapi bentuk-bentuk baru yang merugikan kelompok marginal.

Penulis: Silvestra Wima, Nicolas Kriswinara
Editor: Ganggas Prakosa S.W

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *