Hari kamis tanggal 13 Juli 2023, Arkom Indonesia dan Paguyuban Kalijawi bersama 23 mahasiswa dari Queensland University, dan 18 mahasiswa prodi Arsitektur dan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada mengunjungi Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ini merupakan salah satu dari rangkaian agenda Arkom Indonesia yang bertajuk “International Field Course: Exploring Development Complexities Indonesia Program 2023”. Kunjungan lapangan kali ini bertujuan untuk mempelajari dan menggali informasi mengenai langkah-langkah strategis warga Desa Glagaharjo yang tinggal di lereng Gunung Merapi dalam melakukan mitigasi bencana.
Pada tahun 2010 ketika terjadi erupsi Merapi, Arkom Indonesia pernah melakukan pendampingan di desa Glagaharjo dalam proses evakuasinya. Diantaranya adalah dengan membantu proses relokasi warga ke Huntap dengan cara membuat skenario yang sesuai dengan konteks sosial budaya sekitar. Pemerintah pada waktu itu mendorong agar seluruh warga berkenan untuk direlokasi menuju Huntap, mengingat mereka tinggal di KRB (Kawasan Rawan Bencana) kategori 3. Akan tetapi, warga memiliki cara pandang yang berbeda. Mereka menganggap erupsi Merapi sebagai sebuah “pemberian” karena memuntahkan pasir dan abu vulkanik yang baik untuk perkebunan, terutama rumput kolonjono untuk pakan sapi. Hal ini dianalogikan sebagai pemberian dari “mbah” atau kakek kepada “putu” atau cucunya. Dalam hal ini Arkom Indonesia menjembatani antara pemerintah dengan komunitas lokal agar proses relokasi berlangsung sesuai dengan kebutuhan. Disamping itu Arkom Indonesia juga membantu meningkatkan kapasitas warga dalam menghadapi bencana dengan menghadirkan alat-alat pantau gunung berapi dan HT untuk setiap rumah tangga. Selain itu, Arkom Indonesia juga menyediakan “tas minggat” yakni, sebuah tas khusus untuk menyimpan surat-surat penting yang disimpan di sebuah tempat strategis sehingga warga dapat langsung mengamankan surat-surat tersebut manakala terjadi erupsi. Selain itu, warga juga dihimbau untuk memasang pintu yang dibuka dengan cara keluar, sehingga warga dapat dengan mudah keluar dari rumah jika bencana terjadi.
Kunjungan ini dibagi menjadi dua sesi yang berlokasi di dua tempat berbeda. Acara dibuka dengan forum diskusi bersama kepala dukuh, pamong desa, serta tim FPRB (Forum Pengelolaan Resiko Bencana). Pak Arjun, anggota tim FPRB Parikesit Kali Tengah menjelaskan bahwa forum ini merupakan gabungan dari beberapa unsur diantaranya, pemerintah, media, masyarakat, dunia usaha dan akademisi. Awal pembentukan forum ini bermula dari tersebarnya isu-isu dengan kepentingan pribadi yang seringkali meresahkan masyarakat lereng Merapi. Maka dari itu pembentukan FPRB penting untuk membangun kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, khususnya gunung Merapi serta agar masyarakat dapat lebih waspada dan berhati-hati dengan informasi yang tidak jelas sumbernya. Pembentukan forum ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas warga dalam mewujudkan desa tangguh bencana dan mendukung program pembangunan berkelanjutan.
Sesi pertama kegiatan ini berupa eksplorasi dusun Kali Tengah Kidul guna mencari informasi terkait pengalaman warga dalam menghadapi erupsi gunung Merapi. Kali Tengah Kidul merupakan dusun tertinggi yang ada di lereng Merapi, sekitar 4 kilometer dari puncak Merapi. Dusun ini masuk dalam kategori KRB (Kawasan Rawan Bencana) 3 yang memiliki radius sekitar 5 km. Saat ini dusun Kali Tengah Kidul merupakan daerah wisata dengan konsep Destana (Desa Tangguh Bencana) dan memiliki area penginapan sendiri untuk para wisatawan.
Sesi kedua berlokasi di Huntap (Hunian Tetap) Glagah Malang yang berlokasi sekitar 3 kilometer di selatan dusun Kali Tengah Kidul. Huntap ini dibangun diatas tanah bengkok milik pamong desa dan ditujukan untuk relokasi warga yang tinggal di daerah KRB 3. Awalnya tanah ini area relokasi penduduk saat erupsi Merapi terjadi, namun ketika erupsi sudah mereda warga biasanya kembali ke dusun asalnya masing-masing dan akan kembali lagi ke Huntap manakala terjadi erupsi kembali. Dalam penataan hunian, Huntap di Galagah Malang sedikit berbeda dari dusun Kali Tengah Kidul, Huntap memiliki kandang komunal sendiri untuk memelihara ternak (sapi) serta dilengkapi instalasi biogas di setiap kandang. Dusun ini juga memiliki usaha skala berupa makanan ringan serta kerajinan dari sampah plastik untuk meningkatkan ekonomi warganya.
Kegiatan ditutup dengan eksplorasi dusun Glagah Malang dengan berjalan kaki sembari berdiskusi bersama para pamong desa mengenai pengalaman warga yang tinggal Huntap dalam menghadapi erupsi gunung Merapi.
Penulis: Ganggas Prakosa
Editor: ADE Lestari