Arkomindonesia

UNJUK RASA DALAM KEPALA  

Sarah Inas  

Saya salah satu orang yang mengikuti program fellowship Sekolah Community Organizer (CO) yang diinisiasi oleh Arkom Institute.  Sekolah tersebut dibagi dalam dua kegiatan pokok; praktek lapangan dan kelas sebagai ajang refleksi hasil kerja lapangan.  Sekolah ini membawa saya ke medan baru untuk merasakan metode partisipasi.   

Saya ditempatkan di Desa Wani 2. Kampung pinggir laut yang terterjang tsunami Palu 2018.   Berbekal pengantar hari pertama dari para fasilitator, saya mulai meraba urgensi dan praktik partisipatoris ini dijalankan. Live-in adalah masa-masa yang melelahkan bagi seorang introvert seperti saya. Karakter masyarakat yang lebih mengedepankan bicara dibanding mendengar cukup memporak-porandakan sistem operasional pikiran dan emosi. Tapi apa daya, tuntutan lakon community organizer memang seringkali harus mengesampingkan kepribadian tertutup dan penyendiri seperti ini. Dalam perjalanan waktu, saya mulai belajar untuk sedikit lebih terbuka walaupun masih lebih banyak mendengar dalam setiap percakapan. Saya menyadari bahwa hanya melalui proses ‘menyakitkan’ ini lah saya dapat membaca lebih dalam perihal dampak yang diakibatkan oleh bencana September 2018 silam. Kerusakan fisik, trauma psikologis juga ikatan sosial warga turut digoncang.   

Sumbangan dana maupun sembako yang tidak tepat sasaran, huntara yang kosong karena ketiadaan aliran listrik dan air, serta konflik horizontal perihal siapa yang lebih membutuhkan bantuan adalah topik yang tidak pernah absen dari obrolan bersama warga. Mendengar cerita warga dan melihat secara langsung bantuan disalurkan, meneguhkan saya atas pentingnya praktik partisipatori yang berkualitas tinggi.   

Mengambil kasus yang saya alami ketika proses perencanaan pembangunan baruga Wani 2 di Dusun IV, konflik saling klaim kepemilikan kuasa pengelolaan tanah waqaf muncul dan berlarut-larut walaupun pada akhirnya dapat terselesaikan ketika menemukan tokoh kunci yang paling berpengaruh di dalam lingkar konflik tersebut. Begitu pun dengan pelaksanaan gotong-royong pembangunannya yang banyak terkendala oleh tabrakan kepentingan baru dengan tokoh yang baru pula. Walaupun digempur oleh berbagai tantangan di lapangan, partisipatif warga tetap konsisten digenjot untuk dilaksanakan agar fasilitas publik ini terbangun dan terjaga oleh rasa kepemilikan bersama. 

Perjalanan pemahaman soal partisipatoris berlanjut ke periode rolling. Saya ditempatkan di Mamboro Induk.  Suatu malam saya terlibat dalam sebuah pertemuan di rumah seorang warga. Beberapa warga membicarakan capaian program Arkom yang lambat karena kendala kepasifan warga, dengan contoh kecil berupa keaktifan di dalam forum. Seorang warga mengusulkan untuk memisah forum berdasar gender karena selama ini kepasifan lebih sering terjadi di golongan wanita. Menurut beliau hal ini terjadi akibat perasaan tidak nyaman atau terintimidasi oleh keaktifan para pria. Seketika mentor saya di Mamboro Induk, Pak Juli, menimpali, “Jangan! Justru dengan itu mereka dibiasakan untuk terlibat aktif dalam forum.”   

Melibatkan warga dalam partisipasi adalah usaha yang perlu banyak energi. Dalam situasi warga aktif berpendapat  akan muncul perbedaan pendapat yang bila tidak difasilitasi secara baik bisa melahirkan konflik. Kita sedang belajar dan praktek demokrasi.  

Pertanyaan bagi warga untuk menjalankan atau menghentikan target program, menghentak isi kepala untuk membedakan keinginan atau kebutuhan. Banyak orang belum bisa membedakan kedua kata itu. Mereka mengaggap keduanya sama arti. Dari sini pula menuntun saya untuk mulai membiasakan diri merefleksikan posisi seorang community organizer dalam menanggapi setiap “kebutuhan” warga. Lalu jika datang suatu kondisi di mana sebagian besar warga menyuarakan keinginan yang sama, apakah ini tidak bisa dibaca sebagai sebuah kebutuhan? Atau jika dibalik, bagaimana kita mengoreksi suatu hal sebagai sekedar keinginan bila dalam pertimbangannya kita menggunakan suatu keahlian maupun keilmuan? Apakah ini tidak  berarti kita sedang menempatkan diri lebih superior dibandingkan warga? Namun bukankah semua mestinya perlu pertimbangan secara pengetahuan? Tetapi bukankah suara mayoritas seringkali megabaiakan suara minoritas, alias arogan dan menindas?  

Di titik ini lah saya menyerah dan kembali kepada sebuah pernyataan yang diberikan oleh fasilitator dalam kelas Pendidikan Orang Dewasa (POD). Di depan panel bertempelkan kertas jawaban peserta sekolah CO dari pertanyaan “apa peran kita di tengah warga”, fasilitator mengatakan bahwa jawaban kami tidak bisa ditakar benar-tidaknya karena semuanya akan lebur ketika fokus dikembalikan kepada tujuan apa yang ingin dicapai : kesetaraan kuasa (power) – diilustrasikan dengan gambar neraca yang sampai saat ini masih tertancap kuat di pikiran saya sejak hari pertama kelas CO. Proses belajar yang panjang ini pada akhirnya mengubah saya untuk tidak mudah bersikap reaktif terhadap hal yang belum terkonfirmasi pun terhadap hal yang mungkin sebenarnya tidak perlu dijawab agar saya tetap terus-menerus bertanya – sebuah unjuk rasa dalam kepala.    

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *