Nurul Mizan Asuni
Cerita dari warga kampung dampingan sangat beraneka macam. Soal relasi pribadi, soal harapan ke depan setelah tsunami, soal mempertahankan hidup, soal hutang yang belum terbayar, soal bantuan yang tidak merata, dan masih banyak lagi. Hasil mendengarkan cerita ini sering kami bawa pulang ke sekretariat sebagai oleh-oleh teman yang ditempatkan di kampung lain. Kami berbagi oleh-oleh dan terkesan ngerumpi. Temuan lapangan ini kadang terkesan lucu dan mengundang tawa para pendengarnya manakala tersaji oleh pembawa cerita yang memang berbakat melucu. Cerita–cerita di atas kadang memancing pemikiran yang cukup mendalam manakala direnungkan kasusnya dan mempertanyakannya, mengapa begitu, mengapa begini. Jawaban bisa sangat menusuk ke dalam relung permasalahan dan meluas terangkai dengan berbagai struktur dalam masyarakat. Semua perlu dipahami.
Sayangnya, proses memahami dan memahamkan terkadang tidak begitu mudah. Di suatu petang saya mengunjungi seorang warga. Beliau adalah orang yang dituakan di kampung. Kami bercakap tentang huntap (hunian tetap). Agar suasana tidak terlalu kaku dan tidak terkesan berceramah, saya upayakan untuk bercakap sebagaimana seorang anak dan ayah yang saling bertukar kisah. Namun apalah daya, terkadang seorang anak tidak diinginkan keberadaannya. Maka, belum sampai di penghujung kisah huntap, bapak yang tegap badanya itu langsung menyahut dengan suara lantang, mata melotot sampai kedua alispun seolah bersatu: “Biar ko punya pondasi cakar ayam sampai ke perut bumi, kalau ajal tiba, mati juga”. Mendengar jawaban itu badan saya terasa langsung mengerut padahal tubuhku sudah mungil dibanding dengan kawan-kawan lain. Seketika, saat itu seribu logika yang tersirat dibenak untuk menangkis kalimat tersebut hanya bisa saya dibendung. Saya mengunci sekuat-kuatnya. Sebab siapa yang berani mengambil risiko bermain argumentasi dengan seseorang yang masih dikuasai emosi yang meluap-luap. Mau tidak mau, saya hanya bisa menyembunyikan keringat dingin di balik senyum yang paling manis. Selepas percakapan yang belum selesai, saya pamit meninggalkan bapak tegap itu sambil tertegun mencoba mengambil kesimpulan bahwa bacaan yang selama ini ku santap belum mampu mengimbangi suara lantang dari warga, atau minimal terkomunikasi dengan baik.
Peristiwa di atas juga memberikan saya pelajaran yang besar bahwa satu-satunya senjata pemungkas yang harus saya siapkan sebelum beranjak menuju kampung dampingan adalah tebal wajah dan lapang dada (serta gulungan peta yang sangat jarang digelar dihadapan warga). Ditambah lagi, saya banyak belajar tentang seni berbicara dan mampu menempatkan diri ketika dihadapkan oleh orang-orang yang berbeda, mulai dari akademisi yang dogmatis hingga warga yang cadas, keras dan terkadang beringas.
Pada akhirnya, saya mendapatkan banyak pelajaran yang penting dari proses selama 3 bulan ini. Saya kembali belajar membaca, bukan hanya buku tapi membaca realitas-realitas. Di samping itu, atas nama partisipatoris, saya melihat bahwa baik warga dan seorang penggerak masyarakat, semuanya adalah subjek dalam menciptakan perubahan. Maka dengan ini, saya tutup curahan hati ini dengan satu pepatah kaili: Ane mandate–ndateja kaloro kana mosirata, Sepanjang apapun seutas tali, kedua ujungnya tetap akan bersatu.